Minggu, 03 Juli 2011

KONDISI LAHAN KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI


Lahan kering di DAS kawasan barat Indonesia pada umumnya mempunyai curah hujan tinggi, topografi curam, dan formasi geologi lemah sehingga tanah peka terhadap erosi. Selain itu, tekanan kepadatan penduduk yang terus meningkat, pola tanam yang kurang baik, lahan usaha tani sempit, serta keadaan fisik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat petani yang sangat heterogen menyebabkan pengelolaan lahan kering di kawasan DAS makin kompleks (Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air 1985).

Dalam upaya menangani lahan kering yang tergolong kritis, pemerintah telah menetapkan 80 DAS yang tergolong kritis karena erosi. Dari 80 DAS bermasalah tersebut, 36 DAS tergolong DAS prioritas, dan 11 DAS di antaranya terdapat di Pulau Jawa, seperti DAS Citarum, Cimanuk, Citanduy, Solo, Jratunseluna, dan Brantas (Sutadipradja et al. 1986). Luas lahan kritis di kawasan DAS tersebut diperkirakan meningkat rata-rata 400.000 ha/tahun jika tidak ada upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang memadai. Peningkatan luas lahan kritis terutama disebabkan oleh pengelolaan yang tidak benar, antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak disertai dengan usaha konservasi tanah
dan air.

Hardianto et al. (1992) mengemukakan bahwa umumnya petani di wilayah DAS di Jawa merupakan pemilikpenggarap dengan luas pemilikan lahan 0,30–2 ha. Lahan tersebut umumnya berupa areal pemukiman/pekarangan, tegalan, dan perbukitan. Tegalan sebagian besar sudah diteras bangku, sedangkan perbukitan umumnya berupa lahan tandus yang terlantar. Tegalan digunakan untuk budi daya tanaman pangan, pekarangan untuk tanaman tahunan, dan perbukitan untuk tanaman penghasil kayu. Tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung, ubi kayu, padi gogo, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang tunggak. Di samping itu, petani menanam kacang gude, koro benguk, dan koro pedang sebagai tanaman sela. Tanaman tahunan yang dominan adalah kelapa, melinjo, petai, mangga dan pisang, sedangkan tanaman sayuran yang diusahakan adalah cabai, bawang merah, kacang panjang, mentimum, dan tomat. Selain itu, juga diusahakan tanaman penghasil bahan industri seperti kenanga dan randu, penghasil kayu seperti jati, sengon, akasia, johar, dan mahoni, serta tanaman penghasil pakan ternak seperti lamtoro, turi, kaliandra, glirisidia, lamtoro merah, dan flemingia.

Lebih lanjut Hardianto et al. (1992) menjelaskan bahwa usaha ternak merupakan kegiatan yang cukup penting untuk menambah pendapatan, menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan tanah, dan menghasilkan pupuk organik. Jenis ternak yang banyak dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO), kambing kacang, kambing peranakan etawa (PE), domba gibas, dan ayam buras. Jenis pakan yang diberikan berupa campuran rumput gajah, rumput setaria ditambah hijauan tanaman tahunan dan limbah tanaman pangan. KEPAS (1985) mengidentifikasi permasalahan di daerah lahan kering sebagai berikut:
  1. Upaya pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa lampau terlalu dipusatkan pada padi sawah, sedangkan lahan kering (termasuk DAS bagian hulu) kurang mendapatkan perhatian sehingga tidak memperoleh keuntungan dari program-program pembangunan yang disponsori pemerintah. Satu-satunya program khusus untuk lahan kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Namun, program ini pun dihadapkan kepada berbagai kesulitan yang antara lain disebabkan oleh relatif kurangnya perhatian, sehingga kondisi infrastruktur yang ada jauh lebih buruk daripada di daerah dataran rendah.
  2. Di daerah lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan cukup tinggi, lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang berlangsung lama telah menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan mengurangi atau menghilangkan lapisan olah tanah.
  3. Modal dan motivasi penduduk terbatas akibat rendahnya pendapatan dan produktivitas lahan. Di samping itu, tipe penguasaan lahan berhubungan erat dengan sistem usaha tani dan konservasi tanah di daerah lahan kering. Pemilikan lahan yang relatif sempit serta sistem sewa dan sakap ikut memberikan dampak negatif terhadap sistem usaha tani berwawasan lingkungan.
  4. Kegiatan penyuluhan dihadapkan kepada kendala sosial budaya dan prasarana/sarana perhubungan sehingga penyuluhan relatif kurang. Keterampilan petani umumnya hanya bersifat kebiasaan yang diwariskan dan berorientasi pada subsistensi, sedangkan program penyuluhan yang ada seperti penghijauan, perkebunan, dan kehutanan hanya berkaitan dengan aspek tertentu dan kurang menekankan pada partisipasi petani.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms